FENOMENA
RIBA[1]
Oleh
Zulkifli[2]
Dalil yang
Mengharamkan Riba
Riba dapat
timbul dalam pinjaman (riba dayn) dan dapat pula timbul dalam
perdagangan (riba bai’). Riba bai’ terdiri dari dua jenis, yaitu riba karena
pertukaran barang sejenis, tetapi jumlahnya tidak seimbang (riba Fadl),
dan riba karena pertukaran barang sejenis dan jumlahnya dilebihkan karena
melibatkan jangka waktu (riba nasiah).[3]
Riba dayn
berarti ‘tambahan’, yaitu pembayaran “premi” atas setiap jenis pinjaman
dalam transaksi utang piutang maupun perdagangan yang harus di bayarkan oleh
peminjam kepada pemberi pinjaman di samping pengembalian pokok, yang di
tetapkan sebelumnya. Secara teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari
harta pokok atau modal secara bathil (saeed, 1996). Dikatakan bathil
karena pemilik dana mewajibkan peminjam untuk membayar lebih dari yang di
pinjam tanpa memperhatikan apakah peminjam mendapat keuntungan atau mengalami kerugian.[4]
Secara umum riba didefinisikan sebagai
pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam
secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalat Islam.[5]
Definisi ini mencakup segala jenis riba, baik yang pernah ada dalam jaman
jahiliyah seperti riba qardh, riba jahiliyyah, riba fadl,
dan riba nasiah, juga praktik riba di zaman sekarang baik dalam bentuk
bunga bank, jual beli saham, promes, LC, permainan valas, dll.
Menurut An-Nabhani, orang yang melakukan
riba, keuntungan yang dia peroleh memiliki sifat mengeksploitasi tenaga orang
lain sehingga tanpa bekerja sedikitpun keuntungan tersebut dia peroleh. Selain
itu, keuntungan tersebut diperoleh secara pasti karena sudah menjadi aqad dalam
transaksinya.[6]
Badr
Ad Din Al Ayni mengemukakan, prinsip utama dalam riba adalah penambahan dan
menurut syariah riba berarti penambahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi
bisnis riil.[7]
Adapun ayat yang secara final
mengharamkan riba, QS. Al Baqarah 278 yang artinya, “Hai orang-orang yang
beriman, takutlah kepada Allah dan tinggalkanlah apa yang tersisa dari riba
jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan
(meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan
memerangimu...”. Ayat ini dengan tegas mengharamkan riba untuk
selama-lamanya. Menurut Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar, ayat ini merupakan
peringatan yang amat keras yang dalam bahasa zaman sekarang bisa juga disebut ultimatum
dari Allah. Betapa murkanya Allah terhadap pelaku riba, sampai-sampai
ancaman Allah ini lebih keras dari dosa yang lain.
Al Baihaqi dan
Al Hakim pernah meriwayatkan sebuah hadist Rasulullah SAW dari Ibnu Mas’ud. “Riba
itu mempunyai 73 pintu (tingkatan), yang paling rendah (dosanya) sama dengan
seseorang yang melakukan zina dengan ibunya”. Dalam hadist yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, “Pada malam
perjalanan mi’raj, aku melihat orang-orang yang perut mereka seperti rumah, di
dalamnya dipenuhi oleh ular-ular yang kelihatan dari luar. Aku bertanya pada
Jibril siapakah mereka itu. Jibril menjawab bahwa mereka adalah orang-orang
yang memakan riba.” Rasulullah juga mengingatkan bahwa orang yang memakan
riba, termasuk salah satu dari empat golongan orang yang diharamkan masuk surga
dan tidak mendapat petunjuk dari Allah.
Kemudian siapa
sajakah yang terkena dosa riba sehingga mereka mendapatkan ancaman dari Allah ?
Dalam HR Muslim, “Jabir berkata bahwa Rasulullah SAW mengutuk orang yang
menerima riba, orang yang membayarnya, dan orang yang mencatatnya, dan dua
orang saksinya, kemudian beliau bersabda, “Mereka itu semuanya sama.”
Larangan riba
ini tidak peduli apakah banyak ataukah sedikit jumlah riba yang diambil.
Bunga
dan Riba
Inti dari riba
dalam pinjaman (riba dayn) adalah
tambahan atas pokok, baik sedikit maupun banyak. Dalam bahasa Indonesia riba di
artikan sebagai bunga (baik sedikit maupun banyak). Dalam bahasa Inggris riba
dapat diartikan interest (bunga yang
sedikit) atau usury (bunga yang
banyak). Sebagian besar ulama berpendapat usury
maupun interest termasuk riba.[8]
Bank
konvensional melaksanakan pembagian keuntungan dengan system bunga (persentase)
tetap. Bank tidak mau melihat, apakah wiraswastawan peminjam mendapatkan
keuntungan atau kerugian. Bila bank konvensional memperkirakan bahwa dana yang
dipinjam dari bank akan menghasilkan keuntungan, Bank Islam tidak demikian.
Karena itu, Bnak Islam hanya akan member pinjaman kepada mereka yang
proposalnya dapat meyakinkan bank bahwa usahanya akan menghasilkan keuntungan.[9]
Lebih jauh lagi, lembaga-lembaga Islam
Internasional maupun Nasional telah memutuskan sejak tahun 1965 bahwa bunga
bank atau sejenisnya adalah sama dan haram secara Syariah :
Keputusan
Lembaga Islam Internasional, antara lain:
1. Dewan
Studi Islam Al-Azhar, Cairo, dalam konfrensi DSI Al-Azhar, Muharram 1385 H/Mei
1965 M, memutuskan bahwa “bunga dalam segala bentuk pinjaman adalah riba yang
diharamkan”.
2. Rabithah
Alam Islamy, dalam Keputusan No.6 Sidang ke-9, Mekkah 12-19 Rajab 1406 H,
memutuskan bahwa “bunga bank yang berlaku di bank konvensional adalah riba yang
diharamkan”.
Keputusan Lembaga Islam Nasional, antara
lain:
1. Lajnah Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia,
Majelis Ulama Indonesia pada Silaknas MUI, 16 Desember 2003, memutuskan bahwa
“bunga bank sama dengan riba”. Fatwa itu intinya menyatakan bahwa bunga pada
bank dan lembaga keuangan lain yang ada sekarang telah memenuhi seluruh
kriteria riba. Riba tegas dinyatakan haram, sebagaimana firman Allah SWT:
Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
(TQS al-Baqarah [2]: 275).
2. PP Muhammadiyah, Fatwa Majelis Tarjih
Muhammadiyah No.8 Juni, Tahun 2006, diumumkan pada Rakernas dan Bussiness Gathering Majelis Ekonomi
Muhammadiyah, 19-21 Agustus 2006, Jakarta, memutuskan bahwa “bunga bank haram”.
Fatwa ini semestinya bisa menjadi pangkal
dari penataan menyeluruh dari kebijakan perbankan dan lembaga keuangan lain di
Indonesia yang selama ini dalam dunia perbankan dikenal dengan istilah dual
banking. Maksudnya, di samping bank konvensional, setelah terbit UU Nomer
10 tahun 1998, juga dikembangkan bank syariah yang dilakukan tidak dengan cara
mematikan atau menghentikan bank konvensional.
Untuk
menghindari riba ini, kemudian sebagian orang Islam mendirikan bank tanpa
bunga, yang dalam tulisan ini disebut Bank Islam. Seperti halnya bank
konvensional, bank Islam mengarahkan pada “kerja sama dan bagi hasil”, yang di
tuangkan dalam bentuk profit and loss
sharing (mudharabah dalam Fiqh Muamalah). Profit and loss sharing (untung dan rugi bagi bersama) diterapkan
untuk simpan pinjam yang disalurkan untuk usaha yang produktif.
Bank Islam
atau di Indonesia disebut bank syariah merupakan lembaga keuangan yang
berfungsi memperlancar mekanisme ekonomi di sector rill melalui aktivitas
kegiatan usaha (investasi, jual beli, atau lainnya) berdasarkan prinsip
syariah, yaitu perjanjian berdasarkan hukum Islam antara pihak bank dan pihak
lain untuk penyimpanan dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatna
lainnya yang dinyatakan sesuai dengan nilai-nilai syariah yang bersifat makro
ataupun mikro.[10]
Secara teori
bank syariah menggunakan konsep two tier
mudharabah (mudharabah dua tungkat), yaitu bank syariah yang berfungsi dan
beroperasi sebagai institusi intermediasi investasi yang menggunakan akad
mudharabah pada kegiatan pendanaan (passive) maupun pembiayaan (aktiva). Dalam
pendanaan bank syariah bertindak sebagai pengusaha atau mudharib, sedangkan dalam pembiayaan bank syariah bertindak sebagai
pemilik dana atau shahibul maal.
Selain itu, bank syariah juga dapat bertindak sebagai agen investasi yang
mempertemukan pemilik dan pengusaha.[11]
Kebijakan yang melahirkan koeksistensi
antara bank konvensional dan bank syariah tentu saja menimbulkan masalah.
Secara idealistik, kebijakan itu jelas bukan pilihan yang terbaik. Persoalannya
bukan terletak pada sisi teknis administratif, melainkan pada problema
paradigmatik. Secara substansial, pengakuan terhadap keberadaan bank syariah
yang anti bunga sebenarnya merupakan penegasian terhadap keberadaan bank
konvensional yang berintikan bunga. Apa yang dicari oleh bank konvensional
adalah apa yang paling dibenci oleh bank syariah. Nah, bagaimana mungkin dua
lembaga yang sama sekali berbeda sifatnya bisa hidup berdampingan dalam sebuah
sistem? Pasti harus salah satu yang dipilih.
Bagi
kaum Muslimin yang telah mengetahui persoalan ini hendaknya bertindak sami’na
wa ‘atha’na (kami dengar dan kami mentaatinya). Sebab, hukum haramnya ribâ
telah sampai kepada kita. Tidak ada hak bagi seorangpun untuk mencari-cari
alasan guna menghindari haramnya hukum ribâ dan tidak ada dalil sedikitpun yang
membolehkan persoalan ini dari keharamannya. Tidak ada seruan yang paling baik
dalam masalah ini selain apa yang diserukan Allah dan RasulNya. Tidak ada
ketaatan terhadap makhluq dalam hal persoalan-persoalan yang ia melanggar
ketentuan Allah dan RasulNya.
Tidaklah
terbayangkan betapa dahsyatnya balasan bagi para pelaku ribâ, pedihnya siksaan
yang akan dialami dan sepanjang hidupnya mendapatkan laknat Allah dan RasulNya?
Atau, tidakkah kalian perhatikan bagaimana ancaman hukuman yang terdapat pada
ayat ribâ yang merupakan peringatan Allah SWT kepada kita:
Dan peliharalah dirimu (dari adzab)
pada suata hari, dimana kamu sekalian akan dikembalikan kepada Allah di hari
itu, kemudian masing-masing jiwa akan dibalas dengan sempurna apa yang telah
dikerjakannya itu dan mereka tidak akan dianiaya. (TQs. al-Baqarah [2]: 281).
Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb.
[1] Tugas mandiri Fiqih Muamalah II,
Dosen Pengampu : Dra.Hj.Masyitah Umar, M.Hum.
[2] Mahasiswa
yang berstudi di IAIN Antasari Banjarmasin Fakultas Syariah Jurusan Perbankan
Syariah angkatan 2009. Nim 0901160184.
[5] Tazkia Institute, Riba dalam Persfektif Agama dan Sejarah, www.tazkia.com
[6] Taqyuddin An-Nabhani (2000), Membangun
Sistem Ekonomi Alternatif Persfektif Islam, Risalah Gusti, Surabaya, 201.
[7] Tazkia Institute, Riba dalam Persfektif Agama dan Sejarah, www.tazkia.com
[9] Dr. Muh. Zuhri. Riba dalam Al-Qur’an dan Masalah Perbankan
(sebuah Tilikan Antisifsatif). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 1996.
hl. 183
[11] Ibid.hal 31
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih atas komentarnya